Mata ayah Diva mulai
memerah seakan ingin meneteskan air matanya. “Semenjak kepergian kalian ke
Bali, selang satu minggu Diva masuk rumah sakit. Saat itu kita baru tahu kalau
ternyata Diva menderita penyakit Kanker Otak. Dokter bilang kanker otak yang
diderita Diva sudah memasuki stadium akhir, sampai saat ini Diva bisa bertahan hidup
karena ada obat yang membantunya dan selama ini Diva rutin mengkonsumsi obat itu.”
Ayah Diva menjelaskan.
“Lalu kenapa sekarang Diva kritis?” ayah Jovi semakin
penasaran.
“Mungkin sudah jalannya yang diatas. Walaupun kita sudah
berupaya sekuat mungkin tetap Tuhan yang menentukan.” Ayah Diva mengusap air
matanya.
“Yang sabar ya gung, ini adalah ujian dari sang
pencipta.” Ayah Jovi mengelus punggung ayah Diva.
“Tante, Jovi boleh liat Diva?” pinta Jovi.
“Boleh sayang, tapi Jovi harus pake baju rumah sakit dulu
ya. Soalnya keadaan Diva masih sangat kritis.” Ibu Diva memberitahu. “iya
tante.”
“Jovi bawa apa buat Diva?” ibu Diva mengusap air matanya.
“Jovi bawain Diva boneka tante. Hari ini Diva ulang
tahun, Jovi pernah berjanji tepat di ulang tahun Diva yang ke 14 tahun, Jovi
akan datang menemuinya.” Mata Jovi sedikit berkaca-kaca dan ibu Diva semakin
meneteskan air matanya.
“Masuklah nak, Diva pasti sangat menunggu kehadiranmu.”
Ibu Diva membelai rambut Jovi.
****
Sampailah Jovi di kamar Diva, Diva terlihat terbujur
lemas di ranjangnya. Jovi mulai mendekat ke ranjang itu. Dia tidak sanggup
harus berbicara apa melihat kondisi sahabat kecilnya yang terbujur lemas di
kelilingi dengan selang-selang di wajahnya, infus di pergelangan tangannya. Lalu
Jovi mulai memegang tangan Diva.
“Hay Diva…, inget nggak siapa aku? Laki-laki tampan yang
mirip sama Dimas Anggara. Kamu masih ingat gag, gimana kita bercanda dulu? Kamu
selalu bilang kalau aku mirip Dimas Anggara, padahal aku jauh lebih tampan
darinya. Div, hari ini aku datang untuk nepati janji aku nemuin kamu, aku ingin
ngucapin selamat ulang tahun yang ke empat belas buat kamu. Nih, aku bawain
boneka buat kamu….., kamu kok diam saja Div? kamu nggak suka ya aku datang?”
Jovi mulai menangis.
“Bukalah mata kamu Div, jika aku bisa memutar sebuah
waktu maka aku tidak akan pernah meninggalkanmu kala itu. Aku mohon bangunlah,
aku janji jika kamu mau bangun aku akan menuruti semua permintaan kamu. Aku
mohon Div, kamu bangun. Aku ingin melihat senyum kamu…” Jovi memegang erat
tangan Diva.
“Jo—v-ii..” Diva memanggil namanya.
“Divvvvv, iya ini aku Jovi.. “ Jovi kaget dan teriak
senang.
Perlahan Diva membuka matanya. “Makasih udah mau datang,.”
Nada suara Diva lirih.
“Selamat ulang tahun Diva. Semoga kamu cepat sembuh dan
bisa main lagi sama aku, kita main layang-layang lagi.” Jovi memberinya ucapan
selamat.
“bawalah aku pergi ketaman Jov, aku ingin melihat
layang-layang di luar bersama kamu.” Diva meminta Jovi membawanya ke taman.
“Tapi kamu masih sakit Diva. Dokter tidak akan
mengijinkan kamu keluar kamar.” Jovi terus memegangi tangan Diva.
“Aku mohon, bawa aku keluar kamar.” Menatap tajam Jovi.
“Tunggu sebentar, aku akan ijin sama Ibu dan Ayah serta
Dokter dulu.” Jovi keluar kamar tempat Diva berbaring.
****
“Jov, “ panggil lirih Diva
“Iya Div?” jawab Jovi sambil mendorong kursi roda Diva.
“Aku boleh minta satu permintaan?” Diva memandang Jovi.
“Apapun yang kamu minta Div, akan aku turuti. Itu janjiku
sama kamu saat tadi kamu belum membuka mata.” Jovi menghentikan jalannya dan
duduk di kursi taman rumah sakit.
“Aku ingin kamu menganggap Ibu dan Ayahku seperti Ibu dan
Ayah kandungmu sendiri.” Ucap Diva pelan.
“Kenapa Div?” Jovi bingung dengan ucapan Diva.
“Ibu dan Ayah ku hanya memiliki aku seorang, aku minta
jika aku meninggal mereka tidak kesepian karena masih ada kamu yang mau
menemani mereka, kamu maukan menjadi anak angkat ibu dan ayah untuk mengantikan
aku?.” Diva memberikan sedikit senyuman kecil.
“Kamu nggak boleh bicara seperti itu, kamu nggak akan
kemana-mana. Kamu akan tetap disini bersama ku, ibu dan ayah.” Jovi meneteskan
air mata.
“Hanya itu yang aku minta darimu, maukah kamu berjanji
padaku?” Diva mengulurkan jari kelingkingnya.
“Demi kamu, aku berjanji.’ Jovi membalas uluran
kelingking Diva.
“Lihat layang-layang itu Jov, ada sepasang. Cantik ya?
Yahhh putus satu .. “ Diva menunjuk
layang-layang di atas awan. “aku berharap jika aku seperti layang-layang yang
jatuh itu, aku ingin kamu masih tetap bisa berdiri. Seperti layang-layang yang
masih tetap melayang di awan sana. Walaupun temannya sudah terputus tetapi
dirinya masih mempertahankan untuk tetap melayang di udara. Aku ingin kamu
seperti itu. Tetap tegar walau aku sudah tidak bisa menemanimu lagi.” Kepala Diva
yang telah bersandar di bahu Jovi.
“Kamu nggak akan kemana-mana Diva, kamu akan tetap disini
menemaniku bermain layang-layang. Kamu masih mau kan bermain layang-layang
denganku?” Jovi memandang layang-layang itu.
Diva tidak menjawab
ajakan Jovi. “Div,.” panggilan pertama. “Kamu masih mau kan main
layang-layang bareng aku?” Jovi mengulangi ajakannya. Kali ini Diva tetap tidak
menjawab. “Div, Diva?” Jovi panik melihat mata Diva terpejam.
“Div, Diva bangun Div?? Jovi nggak ingin Diva pergi.
Divaaaa bangunnnnnn ……” air mata Jovi tidak terbendungkan lagi. Dirinya memeluk
Diva sangat erat. Jovi memegang dada untuk memastikan jantungnya masih
berdetak, namun detak jantungnya sudah berhenti. Diva meninggal Dunia.
Tepat di hari Ulang Tahun Diva ke 14 Tahun dia dipanggil
oleh sang pencipta. Kedatangan Jovi untuk menemui Diva menjadikan kabar buruk
untuk dirinya. Pertemuan yang pertama dengan Diva setelah sekian tahun dan
menjadi pertemuan terahkir Jovi dengan Diva untuk selama-lamanya.